Kamis, 15 Agustus 2013

LOVE AND CARE


”Berapa lama lagi baca koran itu?”.
Begitu istriku berkata kepadaku yang sedang baca koran.
”Tolong  ke sini dan bantu anak perempuanmu tersayang ini untuk makan!”.
Aku taruh koran, kemudian aku mendekat dan melihat anakku perempuan satu2nya, Sindu namanya. Tampak dia ketakutan dan terpaksa, banjir air mata, serta didepannya ada semangkuk nasi berisi nasi susu asam/yogurt (nasi khas India /curd rice).
Sindu anak yang manis dan termasuk pintar dalam usianya yang baru 8 tahun. Dia sangat tidak suka makan curd rice ini. Ibu dan istriku masih kuno, mereka percaya sekali kalau makan curd rice ada “cooling effect”.
Aku mengambil mangkok dan berkata,
”Sindu sayang, demi ayah”, ”Maukah kamu makan beberapa sendok curd rice ini?”
”Kalau tidak, nanti ibumu akan ber-teriak2 kepada ayah”.
Aku bisa merasakan, istriku cemberut di belakang punggungku. Tangis Sindu mereda dan ia menghapus air mata dengan tangannya, dan berkata..... ...
“Boleh ayah akan saya makan curd rice ini tidak hanya beberapa sendok tapi semuanya akan saya habiskan, tapi saya akan minta....” agak ragu2 sejenak..... ....
“akan minta sesuatu sama ayah bila habis semua nasinya”.
”Apakah ayah mau berjanji memenuhi permintaan saya?”
Aku menjawab
“Oh pasti, sayang.”
 Sindu tanya sekali lagi,
“Betul ayah ?”
“Yah pasti” sambil menggenggam tangan anakku dengan lembut sebagai tanda setuju.
Sindu juga mendesak ibunya untuk janji hal yang sama, istriku menepuk tangan Sindu yang merengek sambil berkata tanpa emosi,
”Janji” kata istriku.
Aku sedikit khawatir dan berkata:
“Sindu jangan minta komputer atau yang mahal ya, ayah saat ini tidak punya uang.”
Sindu menjawab :
”Jangan khawatir, Sindu tidak minta barang yang mahal kok”.
Kemudian Sindu dengan perlahan-lahan dan kelihatannya sangat menderita, dia bertekad menghabiskan semua nasi susu asam itu. Dalam hatiku aku marah sama istri dan ibuku yang memaksa Sindu untuk makan sesuatu yang tidak disukainya. Setelah Sindu melewati penderitaannya, dia mendekatiku dengan mata penuh harap, dan semua perhatian (aku, istriku dan juga ibuku) tertuju kepadanya. Ternyata Sindu mau kepalanya digundulin/dibotakin pada hari Minggu nanti.
Istriku spontan berkata
”Permintaan gila, anak perempuan dibotakin, tidak mungkin”.
Juga ibuku menggerutu
”Jangan terjadi dalam keluarga kita, dia terlalu banyak nonton TV dan program2 TV itu sudah merusak kebudayaan kita”.
 Aku coba membujuk, :
”Sindu kenapa kamu tidak minta yang lain, kami semua akan sedih melihatmu botak”.
Tapi Sindu tetap dengan pilihannya,
”Tidak ada yah, tak ada keinginan lain”, kata Sindu.
Aku coba memohon kepada Sindu :
”Tolonglah kenapa kamu tidak mencoba untuk mengerti perasaan kami”.

Sindu dengan menangis berkata :
”Ayah sudah melihat bagaimana menderitanya saya menghabiskan nasi susu asam itu..”
”Dan ayah sudah berjanji untuk memenuhi permintaan saya”.
”Kenapa ayah sekarang mau menarik/menjilat ludah sendiri?”.
”Bukankah Ayah mengajarkan kalau kita harus memenuhi janji kita terhadap seseorang apapun yang terjadi?”
Mendengar itu semua aku memutuskan untuk memenuhi permintaan anakku:
”Janji kita harus ditepati”.
Secara serentak istri dan ibuku berkata :
“Apakah kita semua sudah gila?”
”Tidak”, jawabku,
”Kalau kita menjilat ludah sendiri, dia tidak akan pernah belajar bagaimana menghargai dirinya sendiri.”
”Sindu, permintaanmu akan kami penuhi”.
Akhirnya permintaan Sindu kami penuhi, dengan kepala botak, wajah Sindu tampak bundar dan matanya besar dan bagus.
Hari Senin, aku mengantarnya ke sekolah, sekilas aku melihat Sindu botak berjalan ke kelasnya dan melambaikan tangan kepadaku. Sambil tersenyum aku membalas lambaian tangannya. Tiba2 seorang anak laki2 keluar dari mobil sambil berteriak :
”Sindu tolong tunggu saya”.
Yang mengejutkanku ternyata, kepala anak laki2 itu botak. Aku berpikir mungkin”botak” model jaman sekarang.
Tanpa memperkenalkan dirinya seorang wanita keluar dari mobil dan berkata:
“Anak anda, Sindu benar-benar anak hebat”.
”Anak laki-laki yang berjalan bersama Sindu, Harish namanya, adalah anak saya dan dia menderita kanker leukemia.”
Wanita itu berhenti sejenak, nangis tersedu-sedu,
“Bulan lalu Harish tidak masuk sekolah, karena pengobatan chemo therapy”....
”Kepalanya menjadi botak jadi dia tidak mau pergi ke sekolah, takut diejek teman2 sekelasnya”.
”Minggu lalu Sindu datang ke rumah dan berjanji kepada anak saya untuk mengatasi ejekan yang mungkin terjadi”.
”Hanya saya betul-betul tidak menyangka kalau Sindu mau mengorbankan rambutnya yang indah untuk anakku Harish”.
”Tuan dan istri tuan sungguh diberkati Tuhan, mempunyai anak perempuan yang berhati mulia.”
Aku berdiri terpaku dan aku menangis,

“Malaikat kecilku, tolong ajarkanku tentang cinta dan persahabatan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar